Lahan Pemukiman Sekarang Hanya Pinjam

LONG APARI – KABARKUBAR.COM
Setelah 51 tahun hijrah ke tepian Sungai Mahakam, para tetua tiga kampung di Kecamatan Long Apari berniat kembali ke asal. Berbagai alasan mendasari tekad itu. Salah satunya, tanah subur, sungai dan hutan yang masih kaya akan sumber makanan.
“Kami berencana kembali ke asal di tepian Sungai Kacu (Sungai Kassau) sana. Apalagi kalau jalan darat sudah bagus,” ungkap Kepala Kampung atau Petinggi Long Penaneh 3, Yohanes Singaq.
Singaq mengatakan, pembangunan jalan dilaksanakan oleh Zeni Tempur TNI AD pada tahun 2019. Proyek didanai APBN itu membuka hutan hingga perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Jalan tersebut berjarak sekitar 70 kilometer dari ibukota Kecamatan Long Apari ke batas Kalbar. Beruntung, akses itu melintasi tanah ulayat milik lebih dari 200 kepala keluarga yang kini tercatat warga di tiga kampung. Yakni Long Penaneh 1, Long Penaneh 2 dan Long Penaneh 3.
Hanya saja, kondisi jalan saat ini sebagian besar sudah kembali ditumbuhi semak belukar. “Baru 6 kilometer yang sudah perkerasan di tahun 2021. Coba cepat diaspal, kami bisa cepat pindah ke Sungai Kacu,” katanya.

Menurut Petinggi Long Penaneh 2, Andreas Ecot, masyarakat di kampungnya sudah memenuhi pemukiman saat ini. Untuk membangun rumah pun sudah tidak memungkinkan. Sebab lahan yang mereka diami kini, hanya 1 hektare lebih. Persis seukuran lapangan sepakbola.
“Ini pun hanya pinjam, bukan hak milik. Orang tua kami dulu dikasih lahan oleh tetua Kampung Tiong Ohang. Kalau di Sungai Kacu, ada ribuan hektare lahan kami,” ujarnya.
“Lahan untuk kami berladang saat ini pun statusnya pinjam. Tidak ada lahan milik pribadi kami, semua hanya pinjaman,” imbuh Liah Dulet, mantan Petinggi Long Penaneh 3.
Ditemui di lokasi proyek jalan, Pelaksana Proyek PT Tureloto Battu Indah, Denny Lolobua, mengakui mengerjakan peningkatan jalan sepanjang 6,5 kilometer. Perkerasan berupa Burda atau Hamburan Dua Lapis. Proyek itu bertajuk Pembangunan Jalan Batas Kalbar-Tiong Ohang 2.
“Sampai Januari 2022 sudah selesai 3.100 meter. Sedangkan mulai aspal pada akhir November 2021. Kami optimis April ini selesai target 6.500 meter,” terangnya.
Ditambahkannya, Lapis Pondasi Atas atau LPA yang sudah dikerjakan mencapai 4 kilometer di Februari lalu. Soal keterlambatan pekerjaan perusahaan berstatus Grade M itu adalah kontur tanah di sejumlah titik yang tidak terprediksi sejak awal.
Akibatnya, harus mengoperasikan unit excavator sebagai Breaker atau mesin bor penghancur. Sebab harus menghancurkan batu keras untuk menurunkan ketinggian jalan. Unit pun beroperasi siang dan malam.
“Di Batu Atun 1 jalan sepanjang sekitar 50 meter diturunkan 8 meter, dan di Batu Atun 2 panjang sekitar 70 meter dengan penurunan 15 meter,” ungkap Denny Lolobua.

Dikisahkan tetua Long Penaneh, Antonius Bayau, mereka turun dari Sungai Kacu pada tahun 1971. Salah satu alasan kepindahan, untuk memenuhi syarat pembentukan Kecamatan Long Apari. Terlebih saat itu penduduk masih sedikit yang bermukim di wilayah sepanjang hulu Sungai Mahakam.
“Ada juga alasan untuk sekolah anak-anak, dan mudah berobat kalau sakit,” kata pria yang pernah menjabat Petinggi Long Penaneh 3 periode tahun 1984-1991.
Diakuinya, mereka masuk dalam program Resettlement atau pemukiman kembali di wilayah Tiong Ohang yang dulu disebut Oung Cihan (Long Cihan). Terlebih saat itu diberikan tempat oleh Raja Dayak Aoheng kala itu, Tingang Liah. Supi atau bangsawan yang adalah orang tua dari Melkior Paron Tingang.
Sewaktu di Sungai Kacu, mereka mendiami lima pemukiman. Yakni di Long Beraneh, Pike dan Datah Lahung yang menjadi cikal bakal Long Penaneh 1. Kemudian di Lulu Payau yang sekarang Long Penaneh 2. Terakhir di Long Sange yang kini Long Penaneh 3.

“Kami dulu kemudian bersatu di muara Sungai Penaneh dengan nama Desa Long Penaneh. Turun ke Sungai Mahakam ini yang disebut Mutai, tapi lama-lama jadi disebut Muntai,” jelas Bayau.
Terkait tiga kampung lain yang juga ikut berdiam di wilayah muara Sungai Cihan, Bayau menambah cerita. Tahun 1958 penduduk dari wilayah Lirung Lahung yang pada jaman penjajahan Belanda disebut Batu Urah, datang ke Oung Cihan. Mereka adalah yang saat ini warga Kampung Long Kerioq.
Kemudian warga dari Oung Ka’i datang pada tahun 1974. Sekarang mereka adalah warga Kampung Tiong Buu. “Nah, kalau Kampung Noha Boan berasal dari hulu Sungai Hufung sekitar 1982 datang. Makanya tetap disebut orang Hufung,” pungkasnya. #Sonny Lee Hutagalung