Tak Rela Lepas Kekasih Yang 40 Tahun Mendampingi

DAMAI – KABARKUBAR.COM
Gambaran syair-syair lagu biasanya bertema cinta dan terkadang tidak dapat dijabarkan. apalagi untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Sehidup semati, sering kali diucapkan pasangan yang sedang kasmaran dan sumpah janji merupakan khotbah harian.
Berbeda dengan Yoseph Banyaq, mantan Kepala Kampung Benung tahun 1978-1990. Cinta kepada kekasih yang dinikahinya tahun 1960, tetap melekat. Sampai sang istri kembali pada Yang Maha Kuasa pada Sabtu, 15 April 2004 lalu. Akibat sakit parah yang terlebih dahulu menyebabkan istri tercinta lumpuh total.
Batinnya sangat menderita. Kendati masih ada delapan anak yang memberinya 12 cucu, mencoba menghiburnya. Acara Param Api pun diadakan pada saat kematian sang kekasih untuk menghantar jiwa ke dunia orang mati. Sampai mengkorbankan seekor sapi sebagai proses adat istiadat suku Dayak Benuaq. Kemudian dilanjutkan acara Kenyau selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih seekor kerbau pada acara puncak.
Selama itu pula Banyaq terus mengenang masa hidup wanita yang telah mendampinginya lebih dari 40 tahun dalam suka dan duka yang beragam. Hingga peti mati yang dipesan khusus seharga Rp 17 juta dari Kota Samarinda, tempat istrinya dibaringkan, masih tersimpan di dalam rumah.
Rasa sayang yang dalam membuatnya tidak tega untuk segera melepas jenazah ibu dari anak-anaknya ke pekuburan tempat peristirahatan terakhir. Anak-anaknya tidak menolak keinginan Banyaq. Antara lain, Agustinus dan Martinus, dua pengacara sukses di Kota Samarinda, anak sulung dan kedua.
Begitu juga anak ke empat, kelima dan bungsu. Yaitu Lina, Edi Susanto dan Johnny, yang juga telah menyandang gelar Sarjana Hukum. Tiga anak lagi lulus Diploma III juga tidak melarang. Yakni Hetty, Mulyati dan Renita. Mereka sepakat menunda pemakaman ibunda tercinta sampai waktu yang tidak ditentukan.
Peti jenazah berukuran dua meter lebih itu diletakkan dalam sebuah ruangan khusus berukuran 2,5 x 4 meter di Lamin Benung. Rumah adat yang mereka tinggali sejak menikah bersama beberapa keluarga lain. Dinding kaca bening ukuran 1 x 3 meter dipasang hingga dapat memandang bebas ke dalam ruangan tersebut.
Sebuah foto istri tercinta terpampang di dinding memperlihatkan gurat-gurat kecantikan yang tersisa di wajahnya semasa muda dulu. Beberapa perabotan lama bernilai tinggi karena sudah langka, diletakkan di sekeliling peti dalam ruangan. Itu menunjukkan kebangsawanan keluarga almarhumah.

Dikisahkan Banyaq, istrinya yang bernama Maria Awan adalah seorang putri bangsawan dari wilayah Idan, tepatnya Benung. Ayah mertuanya bernama Lidau dan ibu mertua, Rangan. Dari kampung asalnya di Mencimai, ia pindah ke Benung mengikuti istri sebagaimana kebiasaan suku mereka.
“Mertua saya masih keturunan Aji (Bangsawan) tapi saya seorang rakyat biasa. Barang-barang ini kebanyakan peninggalan keluarga ibu,” jelasnya sambil menunjukkan perabotan berupa guci yang terbuat dari tanah dan tembaga. Ada juga gong, ceret, mangkok, piring, tombak dan mandau di ‘kamar’ sang istri.
Meskipun peti jenazah berada di dalam Lamin, tidak membuat takut para penghuni lain yang notabene adalah keluarga dekat almarhumah. Hal ini sudah biasa menurut mereka. Karena dulu moyang mereka pernah melakukan hal yang sama kalau belum sampai hati melepas jenazah orang yang dicintai. “Anak-anak di sini tidak takut mungkin karena masih saudara semua,” kata salah seorang penghuni Lamin.
Derita batin yang dialami Banyaq tidak kunjung reda setiap ia melihat ke ruangan peti jenazah istrinya. Terkadang ia berangkat ke Samarinda untuk mengurangi kepedihan hatinya. Namun hanya bertahan beberapa hari, ia pun rindu kembali ke Lamin untuk menengok istri tercinta.
“Mungkin lebih baik jenazah istri saya dimakamkan saja agar derita hati saya bisa terobati. Tapi tunggu sampai acara Kwangkai kira-kira dua tahun lagi. Anak-anak sarankan saya tinggal di Samarinda, tapi saya tidak tega meninggalkan istri saya ini,” tutur Banyaq dengan mata berkaca-kaca karena menahan rasa sedih.
Menurut LP Lama, hal yang dilakukan Banyaq bukan sesuatu masalah dalam adat Dayak Benuaq. Terlebih pada masa moyang mereka pernah terjadi hal yang sama. Hanya ada rasa segan untuk melakukan acara di Lamin oleh karena kedukaan yang dialami Banyaq.
“Kami merasa segan kalau mau bikin acara di Lamin. Apalagi acara yang sifatnya pesta, sementara ada orang yang masih berduka. Kami semua turut berduka,” kata pria yang menjabat yang telah menjabat selaku Kepala Adat Benung sejak tahun 1974.
“Tentang kapan diturunkan ke tanah, terserah keluarga memutuskan. Kami siap membantu. Kami semua masih ada ikatan keluarga,” jelasnya pada media ini di rumahnya sekitar 400 meter dari Lamin Kampung Benung. #Sonny Lee Hutagalung