Kini Tersisa 3 Dari 12 RT Karena Banyak Warga Pindah
LONG HUBUNG – KABARKUBAR.COM
Kini banyak warga Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu asal suku Timor yang merantau dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun jauh sebelumnya, tepatnya 28 tahun lalu, ratusan orang tiba di pelosok wilayah Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai. Mereka yang datang dari provinsi yang terdiri dari 550 pulau kecil dengan tiga pulau utama itu, berstatus Transmigran.
Lokasi transmigrasi yang mereka tuju berada di tepian Sungai Pariq. Dari Sungai Mahakam, bisa ditempuh dengan perahu ketinting atau ces. Jika menggunakan mesin berkekuatan 10 PK, bisa mencapai tiga jam dari muara yang berada di seberang Kampung Lutan, Kecamatan Long Hubung. Namun jika sebaliknya, hanya dua jam perjalanan karena tidak melawan arus sungai.
“Kami tiba di kampung ini pada hari Senin, 28 Desember 1992. Jadi kami Natalan di kapal. Tahun 1993 jadi Desa Tri Pariq Makmur, masuk wilayah Kecamatan Long Iram. Tri Pariq Makmur artinya tiga kelompok besar suku Timor, Dayak dan Jawa di Sungai Pariq yang berharap untuk sejahtera,” ungkap Cornelis Haumeni, salah seorang tetua kelahiran tahun 1958, saat ditemui di rumahnya, RT 2 Kampung Tri Pariq Makmur, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu.
Pria yang kini memiliki tujuh cucu ini mengisahkan, ia berangkat bersama rombongan yang terdiri dari 68 kepala keluarga. Bersamanya ada istri, Theresia Benu yang lahir tahun 1965, tiga dari lima anaknya, dan seorang ipar. “Ada aturan harus enam orang, jadi kalau kurang ditambah. Anak saya ada lima, yang ikut tiga saja dan dua anak tinggal di Timor,” katanya.
Cornelis mengaku, ia bersama 10 KK berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan 58 KK lainnya berasal dari Kota Kupang, Kabupaten Belu, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Total mereka yang berangkat dari Provinsi NTT saat itu berjumlah 408 jiwa.
“Kami dibuatkan ritual adat oleh Bapak Hendrikus Hibau Bong (Kepala Adat Kampung Matalibaq) selama tiga hari. Kami diangkat sebagai anak, meminum darah kambing dan makan beras mentah waktu itu. Lalu didirikan satu tiang dari kayu ulin sebagai tanda sejarah itu,” ungkapnya.
Ada kisah tidak terlupakan selama tujuh hari perjalanan dari Kota Kupang menuju lokasi transmigrasi yang berada di tepian Sungai Pariq, anak Sungai Mahakam itu. Dari pelabuhan ibukota Provinsi NTT itu mereka menaiki Kapal Poliama yang bukanlah kapal penumpang.
“itu kapal pengangkut sapi yang cuma ada satu lantai. Kadang masuk air, dan kami basah semua. Sampai di Selat Makassar, mesin mati. Kalau tidak cepat hidup, mungkin kami semua sudah mati,” imbuh Yuliana Romedi. Wanita kelahiran 15 Juli 1965 ini saat itu berangkat bersama suaminya, Raimondus Manitu, dua anak dan seorang sepupu. Dari Kecamatan Miumafo Timur, Kabupaten TTU, mereka berjumlah 12 KK.
“Saya dulu umur 34 tahun waktu datang, sekarang sudah 61 tahun,” celetuk Matgaretha Lake yang dulu tiba dari Kabupaten TTU bersama suaminya, Marselinus Banase dan dua anaknya. Ia mengaku anaknya saat ini memiliki usaha travel tujuan Kubar-Samarinda, dan seorang menantu bekerja sebagai Tenaga Keamanan di Bank Kaltimtara.
Kembali Cornelis bercerita, perjalanan dari Kota Kupang menuju Pelabuhan Samarinda di Sungai Mahakam ditempuh Kapal Poliama selama empat hari dan empat malam. Kemudian dilanjutkan tiga hari lagi menuju Base Camp perusahaan kayu PT Barito Pacific yang berada di wilayah Kecamatan Long Iram, saat ini Kecamatan Long Hubung. “Dari Barito ke sini naik truk Mercy beberapa jam,” katanya.
Sambil mengunyah sirih, Cornelis mengungkapkan, rombongan mereka harus berhimpitan dalam beberapa rumah berukuran 6×6 meter. Sebab, rumah yang disediakan oleh pihak Departemen Transmigrasi Republik Indonesia itu belum cukup menampung 68 KK yang datang. Tahun 1993, ada lagi rombongan transmigran dari Pulau Jawa dan transmigran lokal.
“Dulu itu penduduk Tri Pariq Makmur lebih dari 300 KK. Kami bentuk 12 RT (Rukun Tetangga) dalam dua dusun dan empat RW (Rukun Warga). Saya jadi Ketua RW 1,” kata Cornelis seraya sesekali membelah pinang, serta mencari sirih dan kapur dari dalam tas kecil.
Kedatangan mereka tidak semata transmigrasi untuk mengisi lokasi dengan berkebun atau bertani. Tapi satu perusahaan pengelola Hutan Tanaman Industri PT Angga Pundi Nusa, telah menunggu mereka untuk dipekerjakan. “Akibat kebakaran hutan di tahun 1997 dan 1998, ribuan hektar tanaman kayu industri terbakar. Akhirnya ada PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan gulung tikar,” imbuh Arnoldus Sumbing, yang dulu bekerja sebagai anggota Satuan Pengamanan atau Satpam di perusahaan tersebut.
Diakui Cornelis, ada banyak warga telah meninggalkan Tri Pariq Makmur. Ada yang pulang kampung ke Provinsi NTT, dan banyak yang masih tinggal di wilayah Kubar dan Mahulu. Itu sebabnya, kampung itu kini hanya dibagi dalam tiga RT. “Dulu mau ada pemekaran Kampung Muara Mujan, diminta 13 KK untuk membentuk Kampung Kelubaq. Jadi banyak orang kami sekarang di kampung itu,” ungkapnya.
Tri Pariq Makmur pertama kali dipimpin Soleman sebagai kepala desa saat masih wilayah kecamatan Long Iram di Kabupaten Kutai. Pria asal suku Dayak Kenyah itu juga masih menjabat kepala desa setelah kampung itu masuk wilayah Kabupaten Kutai Barat dengan sebutan Petinggi. Setelah itu, Susten Abanat menjadi Petinggi selama delapan tahun.
Mulai tahun 2013, setelah terbentuk Kabupaten Mahakam Ulu, Dianto Sinaga menjadi Petinggi Tri Pariq Makmur. Rencananya, tahun ini diadakan pemilihan Petinggi Tri Pariq Makmur untuk periode 2020-2026. “Tahun ini kampung kami umurnya 28 tahun. Pengurus harus pertanggungjawabkan masyarakat. Kalau ada orang masuk (jadi warga baru), tolong diurus agar kampung berkembang dan banyak warga,” pungkas Cornelis.
Menurut Hendri Lopes yang adalah Tokoh Masyarakat Timor di Kubar, saat ini ada lebih dari 35 ribu warga asal Provinsi NTT di Kubar dan Mahulu. Terbanyak berada di pemukiman yang tersebar di puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Kami tetap berkomunikasi lewat paguyuban. Pernah juga kami rombongan ke Tri Pariq Makmur untuk menghadiri pernikahan teman di sana,” jelas pria yang juga Pengurus Ikatan Keluarga Nusa Tenggara Timur atau Ikenttim Kubar.
Untuk menuju Tri Pariq Makmur, bisa ditempuh lewat jalur darat. Dari dermaga di Kampung Long Hubung, tepatnya depan Kantor Camat Long Hubung yang lama, harus menyeberang menggunakan kapal penyeberangan. Dengan ongkos Rp25.000 untuk satu unit motor, kapal mengantar menuju tepian di hulu Sungai Mahakam sejauh 350 meter.
Diteruskan melewati jalan tanah dan berkoral dengan kondisi yang cukup sulit dilalui jika basah atau saat hujan. Setelah menempuh sejauh sekira lima kilometer, berbelok ke kanan di simpang empat yang menuju Log Pond perusahaan kayu PT PJM dan Kecamatan Laham. Sekitar tujuh kilometer kemudian, tiba di simpang jalan menuju Kampung Matalibaq.
Tetap mengambil jalan lurus melewati simpang Kampung Matalibaq, dan setelah enam kilometer berbelok kanan di sebuah simpang jalan tanah sempit. Sekira 150 meter jalan menurun, tibalah di tepian Sungai Pariq dan gerbang RT 1 Kampung Tri Pariq Makmur tampak di seberang. #Sonny Lee Hutagalung