Mendika vs TSA, Petinggi Sebut Ada Transaksi Gelap

2 views

Warga Dibenturkan Dengan Polisi Jika Ada Klaim

1605_KabarKubar_Petinggi Mendika_Gagar_3
UNGKAP TABIR : Petinggi Mendika, Gagar, menceritakan kronologi seputar tuntutan warganya yang disebut terjadi akibat ‘permainan’ TSA dan sejumlah oknum tidak bertanggungjawab.    HENRY SITUMORANG/KabarKubar.com

DAMAI – Kepala Kampung (Petinggi) Mendika Kecamatan Damai, Gagar, mengaku kesal dengan sikap manajemen PT Teguh Sinar Abadi maupun PT Firman Ketaun Perkasa. Perusahaan pertambangan tersebut disebut selalu membenturkan masyarakat dengan aparat hukum, khususnya oknum kepolisian. Jika ada klaim kepemilikan lahan yang telah digarap perusahaan, langsung dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pengancaman atau perbuatan tidak menyenangkan.

“Coba TSA ini seperti Banpu (PT Trubaindo Coal Mining) yang selalu buat sosialisasi. Ini tidak pernah, main nyelonong saja menebang rotan kami. Pernah (TSA) kami denda Rp 100 juta, tapi polisi disuruhnya berhadapan dengan kami. Akhirnya mereka mau bayar Rp 60 juta. Perusahaan baiknya cari makan dengan baik, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kita sama-sama warga NKRI,” kata Gagar, Sabtu (15/5/2015) di kediaman, RT I Kampung Mendika.

Terkait klaim TSA maupun FKP yang menyebut telah membayar lahan warga sejak tahun 2006, dibantah Gagar. Pria lanjut usia ini menuding perusahaan bersekongkol dengan sejumlah oknum dari kampung lain. Banyak warganya mengaku kaget karena tiba-tiba ada aktivitas perusahaan di lahan milik mereka. “Itu penjualan (pembayaran ganti rugi) gelap. TSA membayar kepada orang tidak jelas dan ada lahan dijual orang yang bukan pemilikinya,” ujarnya.

Dia bahkan menduga telah terjadi pemalsuan dokumen pembayaran ganti rugi. Sebab pada dokumen tertera tandatangan saksi pemilik lahan berbatasan. Setelah ditelusuri, orang sebenarnya tidak pernah membubuhkan tandatangan. Dia mencontohkan,Terang dan Mujiman yang berbatas lahan dengan Musni. Ada tandatangan mereka di dokumen kepemilikan lahan yang dibebaskan TSA. Setelah ditanyakan, keduanya membantah. Bahkan mereka menunjukkan model tandatangan mereka sebenarnya tidak sama seperti di KTP dan dokumen itu. “Kanisius, Ileng dan Langkas tidak pernah menjual lahan, tapi TSA ada dokumen pembayaran ganti rugi atas nama mereka. Dulu (tahun 2006) harganya Rp 12 juta perhektar,” ungkap Gagar.

Gagar mengatakan, warga menuding ‘permainan’ TSA dilakukan bukan saat Land Compentation Section dipimpin Diana Siagian atau penggantinya sekarang. Setidaknya ada belasan hektar di sekitar kolam pengolahan limbah yang masih bermasalah. Total sekitar 84 hektar yang belum dibebaskan perusahaan. “Patok batas banyak bergeser. Lokasi bisa berpindah ke seberang jalan, itu kan aneh. Dulu dicari orang yang mau menjual lahannya, tapi kami tidak ikut-ikutan. Makanya kaget kok TSA menggarap lahan kami. Bukan saya Petinggi waktu itu, kami tidak tahu siapa yang menjual lahan,” bebernya. Ia menambahkan, dari perkampungan ke kolam limbah TSA berjarak sekitar 4,5 kilometer. Namun pembayaran ganti rugi di lokasi itu kebanyakan atasnama masyarakat kampung lain yang berjarak hingga 15 kilometer.

Sebelumnya diberitakan, TSA membantah belum memberikan ganti rugi lahan masyarakat yang digarapnya. Sejak tahun 2006 telah dilakukan pembayaran kepada warga Kampung Mendika dan Sempatn Kecamatan Damai. Jika ada warga yang mengklaim lahannya belum dibayar, itu dianggap tuntutan sepihak dan yang tidak perlu ditanggapi.

“Yang penting pembuktian hak. Kalau mereka bilang punya surat tanahnya, kami juga punya surat-surat tanah itu. Karena sejak tahun 2006 sudah ada pembayaran ganti rugi,” kata Mikael Wiguna, Staf di Land Compentations Section TSA dan PT Firman Ketaun Perkasa yang juga merupakan anak perusahaan PT Gunungbayan Pratamacoal. Mikael menerima KabarKubar.com di ruang kerjanya, TSA Office di Kampung Muara Bunyut Kecamatan Melak, Jumat (15/5/2015).

Dia mengatakan bahwa lahan yang dituntut Oncar cs hanya 3,7 hektar yang disebut bermasalah. Namun TSA maupun FKP merasa telah menyelesaikan kewajibannya. “Ada overlap claim (tumpang tindih tuntutan). Kami sudah bayar, kok bisa ada tuntutan lagi dengan surat kepemilikan lahan yang baru. Surat mereka di tahun 2014,”  kata Mikael.

Soal tudingan warga jika TSA maupun FKP telah melakukan berbagai pelanggaran, seperti limbah yang mencemari sumber air bersih, dibantah Mikael. Menurutnya, air tidak tercemar karena kualitas air di sekitar kampung terus dipantau. Air yang disebut mencemari, diakui Mikael bukanlah limbah dari penambangan batu bara. Melainkan air yang keluar dari bukit sekitar. “Itu bukan dari tambang, hanya dari gunung. Kualitas air kami cek benar dan kapan-kapan bisa kita cek ke sana. Yang kami lakukan sudah sesuai standar pemerintah,” jelas pria asal Kampung Sakaq Tada Kecamatan Mooq Manar Bulatn ini.

Terkait kolam pengolahan limbah yang dikatakan warga Mendika tidak sesuai prosedur dan mencemari lingkungan serta sumber air bersih, Mikael kembali membantah. “Justru kami buat kolam di lokasi itu agar tidak ada pencemaran. Waktu mau buat kolam baru ada klaim,” tegasnya.

Mikael mengungkapkan, perusahaan telah mengikuti semua tata cara adat sebelum membuka lahan. Saat itu semua unsur pemerintahan serta lembaga adat hadir. Jika sekarang ada yang mempermasalahkan, dia mengatakan, mungkin tidak hadir kala itu.  Soal tuntutan warga, telah dan akan diserahkan kepada proses hukum untuk menentukan siapa yang benar atau salah.

Ia menyebut pertemuan dengan warga penuntut telah dilakukan berulang kali. Terakhir pada  Kamis (9/4/2015). Rapat bersama di Kantor Camat Damai, di Polsek Damai dan di Polres Kubar dengan difasilitasi Pemkab Kubar. “Perusahaan menyerahkan semuanya ke proses hukum,” tukas Mikael. Ia menunjukkan undangan yang ditandatangani Bupati Kubar Ismael Thomas kepada TSA untuk rapat bersama membahas masalah tersebut pada Rabu (20/5/2015) ini.    #Hendri Philip

Komentar

comments