Rabu Ini Diundang Bupati Untuk Rapat

MELAK – Perusahaan pertambangan batu bara PT Teguh Sinar Abadi membantah belum memberikan ganti rugi lahan masyarakat yang digarapnya. Sejak tahun 2006, TSA mengaku telah dilakukan pembayaran kepada warga Kampung Mendika dan Sempatn Kecamatan Damai. Jika ada warga yang mengklaim lahannya belum dibayar, itu dianggap tuntutan sepihak dan yang tidak perlu ditanggapi.
“Yang penting pembuktian hak. Kalau mereka bilang punya surat tanahnya, kami juga punya surat-surat tanah itu. Karena sejak tahun 2006 sudah ada pembayaran ganti rugi,” kata Mikael Wiguna, Staf di Land Compentations Section TSA dan PT Firman Ketaun Perkasa yang juga merupakan anak perusahaan PT Gunungbayan Pratamacoal. Mikael menerima KabarKubar.com di ruang kerjanya, TSA Office di Kampung Muara Bunyut Kecamatan Melak, Jumat (15/5/2015).
Dia mengatakan bahwa lahan yang dituntut Oncar cs hanya 3,7 hektar yang disebut bermasalah. Namun TSA maupun FKP merasa telah menyelesaikan kewajibannya. “Ada overlap claim (tumpang tindih tuntutan). Kami sudah bayar, kok bisa ada tuntutan lagi dengan surat kepemilikan lahan yang baru. Surat mereka di tahun 2014,” kata Mikael.
Soal tudingan warga jika TSA maupun FKP telah melakukan berbagai pelanggaran, seperti limbah yang mencemari sumber air bersih, dibantah Mikael. Menurutnya, air tidak tercemar karena kualitas air di sekitar kampung terus dipantau. Air yang disebut mencemari, diakui Mikael bukanlah limbah dari penambangan batu bara. Melainkan air yang keluar dari bukit sekitar. “Itu bukan dari tambang, hanya dari gunung. Kualitas air kami cek benar dan kapan-kapan bisa kita cek ke sana. Yang kami lakukan sudah sesuai standar pemerintah,” jelas pria asal Kampung Sakaq Tada Kecamatan Mooq Manar Bulatn ini.
Terkait kolam pengolahan limbah yang dikatakan warga Mendika tidak sesuai prosedur dan mencemari lingkungan serta sumber air bersih, Mikael kembali membantah. “Justru kami buat kolam di lokasi itu agar tidak ada pencemaran. Waktu mau buat kolam baru ada klaim,” tegasnya.
Mikael mengungkapkan, perusahaan telah mengikuti semua tata cara adat sebelum membuka lahan. Saat itu semua unsur pemerintahan serta lembaga adat hadir. Jika sekarang ada yang mempermasalahkan, dia mengatakan, mungkin tidak hadir kala itu. Soal tuntutan warga, telah dan akan diserahkan kepada proses hukum untuk menentukan siapa yang benar atau salah.
Ia menyebut pertemuan dengan warga penuntut telah dilakukan berulang kali. Terakhir pada Kamis (9/4/2015). Rapat bersama di Kantor Camat Damai, di Polsek Damai dan di Polres Kubar dengan difasilitasi Pemkab Kubar. “Perusahaan menyerahkan semuanya ke proses hukum,” tukas Mikael. Ia menunjukkan undangan yang ditandatangani Bupati Kubar Ismael Thomas kepada TSA untuk rapat bersama membahas masalah tersebut pada Rabu (20/5/2015) ini.
Sebelumnya diberitakan, warga Kampung Mendika dan Sempatn segera melayangkan surat pengaduan ke Lembaga Hak Asasi Manusia di Jakarta. Pasalnya, TSA maupun FKP tidak juga menggubris tuntutan ganti rugi pemilik lahan. Bahkan sejak tahun 2006, TSA dinilai mengabaikan niat 60 kepala keluarga yang mengklaim memiliki sekitar 600 hektar lahan.
“Kami akan membuat laporan ke HAM,” kata Hendi Yaiyi Kuin, Koordinator Warga Kampung Mendika dalam tuntutan kepada TSA. Ia mengungkapkan tekad warga tersebut usai pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat di Lantai II Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kubar, Rabu (13/5/2015).
Hendi mengatakan, warga telah berupaya bernegosiasi dengan manajemen TSA. Namun perusahaan grup dari Bumi Resources milik Aburizal Bakri itu tidak pernah mau berdialog dengan masyarakat maupun perwakilan warga. “Sampai saat ini masalah itu (ganti rugi) tidak pernah dibahas. Kami selalu menggunakan cara yang baik, tapi perusahaan tidak menghiraukan,” katanya.
Ditambahkan Firdaus, salah seorang warga Mendika, TSA tidak pernah mau menemui masyarakat. Meski warga sangat berharap agar masalah itu diselesaikan dengan baik. “Kalau masyarakat berdemo, selalu dibenturkan dengan aparat hukum,” ungkapnya. “Kami tidak mempermasalahkan besaran harga ganti rugi. TSA bilang sudah membayar ganti rugi, tapi sama siapa? Kami tidak pernah menerimanya. Sekarang yang terpenting adalah memperjuangkan hak kami,” pungkasnya.
Dijelaskan Ketua RT II Mendika, Minta, ganti rugi yang diajukan masyarakat tidak sekedar kompensasi lahan yang telah digarap TSA. Namun juga akibat yang ditimbulkan operasional penambangan perusahaan yang mulai gencar beroperasi di tahun 2007 lalu. Termasuk pencemaran sumber air yang selama ini dikonsumsi warga. Limbah akibat eksploitasi perusahaan telah mencemari air yang menjadi konsumsi sehari-hari. Kolam ikan yang menjadi salah satu sumber pendapatan warga juga ikut tercemar.
“Limbah perusahaan sangat merugikan. Air yang dulu dikonsumsi, sekarang tidak bisa dikonsumsi. Airnya sudah bau dan kolam ikan tercemar membuat ikan mati,” ujarnya. “Kami pernah meminta operator exavator supaya tidak beroperasi, tapi kegiatan TSA tetap berjalan karena didampingi aparat hukum,” ungkap Minta yang berusia 75 tahun ini.
Menurut Lusiana Dili, warga bernama Udinsyah menjadi korban dari sikap TSA. Udin telah 7 kali dijadikan tersangka dalam perkara gugatan sengketa. “Udin ini tergolong buta huruf, makanya tidak mengerti saat diminta menandatangani surat penetapan tersangka,” katanya.
Lusiana mengaku sangat menyesalkan sikap TSA yang tidak menggubris surat undangan rapat yang dilayangkan Pemkab Kubar untuk rapat di Bappeda hari ini. Seorangpun dari pihak manajemen TSA tidak ada yang menghadiri. “Kita tidak tahu apa mau perusahaan. Kita mau TSA segera menyelesaikan sengketa lahan kami. Jangan sampai masyarakat yang bertindak,” tegasnya.
Mewakili Pemkab Kubar, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Kubar, Misran Effendi, mengatakan segera memanggil manajemen TSA melalui surat. “Jika tidak mengindahkan (surat panggilan), bila perlu kita buat laporan ke HAM atau ke Dirjen Pertambangan,” katanya. #Henry Situmorang