Lembaga Adat dan Ormas Diminta Ikut Menyosialisasikan Aturan Hukum

BARONG TONGKOK – KABARKUBAR.COM
Tiga pria diamankan Polisi pada Rabu 18 September 2019 lalu. Mereka disangkakan Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atas Pembakaran Lahan. Ketiganya harus merasakan sakitnya di kamar berjeruji besi, karena niat berlandang untuk hidupnya. Atas kasus ini sejumlah aktivis, pegiat sosial dan tetua adat pun memberi perhatian khusus. Mereka sepakat meminta ketiga warga Kubar itu dibebaskan dari tahanan.
“Kita mesti ikut bertanggungjawab agar yang ditahan bisa dibebaskan. Mereka juga akan mendapat pelajaran, bahwa ke depan harus perhatikan aturan hukum,” kata Ketua DPC Gerakan Pemuda Asli Kalimantan (Gepak) Kabupaten Kutai Barat, Matias Genting, Selasa 24/9/2019 kemarin.
Dalam diskusi di Sekretariat DPC Gepak Kubar, Jalan M Yamin RT.03, Kelurahan Barong Tongkok, Kecamatan Barong Tongkok itu, semua pihak sepakati poin penting. Yakni pembebasan ketiga pria yang ditahan. “Tidak ada niat mereka membakar lahan seluas-luasnya. Kita mau keadilan didapat mereka yang ditahan. Kami minta mereka dibebaskan,” imbuh Matias Genting.
Ia beranggapan, penahanan ketiga peladang tersebut ada sebabnya. Salah satunya, miskomunikasi antara warga dengan pihak berwenang, dan kurangnya sosialisasi. “Saya lihat baru gencar sosialisasi dua minggu ini. Bahkan sudah ada kejadian, baru gencar,” katanya.
Ketua Lembaga Adat Dayak Kubar, Albinus Ali, menyinggung aturan terkait sudah ada. Hanya saja dinilai belum maksimal dalam menyoalisasikan. Sehingga ia ingin aturan dimaksud untuk diperkuat. “Ini nasib mereka, meski belum tentu melanggar hukum karena tidak tahu. Kita berladang, jadi perlu diperbaiki aturannya. Kita mau kawan-kawan itu dikeluarkan,” ujarnya.

Menurut Koordinator DPD Gepak Kubar dan Mahulu, Heri Kristianto, tidak bisa dikesampingkan kasus ketiga peladang yang sudah seminggu ditahan. Gepak siap membantu siapa saja. Namun ditelusuri dulu proses hukumnya, termasuk siapa pelapor kasus itu. “Ada satelit untuk membaca titik api di Pemkab Kubar. Jika di bawah satu hektare tidak terbaca. Apakah sudah kordinasi dengan pemkab, karena ini bagian tanggung jawab atas nasib warganya,” ungkapnya.
Pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nasional, Pius Erik Nyompe mengakui, kasus ini tidak melihat untuk hari ini, tapi sampai ke anak dan cucu kemudian. “Budaya kita sudah jadi anekdot, jika tidak berladang bukanlah Dayak. Kebiasaan kita Dayak berladang, bukan sawah. Karena dulu kuatir kena penyakit kaki gajah,” katanya.
Erik Nyompe menambahkan, ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010. Pada Pasal 4 disebutkan, boleh berladang maksimal dua hektare dan bertahap. “Kita minta mereka dibebaskan, karena masih banyak yang belum membakar ladang. Jangan nanti jadi rancu, sehingga warga takut membakar ladangnya. Kawan-kawan di provinsi dan pusat sudah mengecam tindakan sewenang-wenang aparat,” tegasnya.
Yusuf Julianus Fernandes, menyinggung korporasi yang lebih sering membakar lahan dalam luasan mencapai ribuan hektare. Meski diakuinya, dari sisi hukum positif ada dasar penahanan tiga peladang dimaksud. Ia mempertanyakan sosialisasi yang dinilai belum menyeluruh ke kampung-kampung. Agar masyarakat bisa memahami aturan terkait.
“Atas kasus ini, jangan ada lagi yang terjerat kasus yang sama. Harus ada pendampingan pemerintah dan legislatif, jangan sudah duduk enak tidak membantu masyarakat. Mestinya, jika warga tidak tahu telah melanggar hukum, tidak boleh dijadikan tersangka,” kata pria yang mengaku berprofesi sebagai Advokat. Ia baru kembali ke kampung halaman di Kubar, setelah lama bekerja di berbagai daerah di Indonesia.
Gesi Lolita yang juga Pengurus DPC Gepak Kubar, mengakui seorang ditahan adalah pamannya. Yakni DR (57) warga Kampung Keay Kecamatan Damai. Saat kejadian, keluarga DR tidak berada di kampung saat sedang membersihkan dan bakar lahan kawasan pekuburan. “Api sudah padam, ternyata di bagian bawah masih terbakar. Lahannya tidak ada luas setengah hektare pun. Ternyata ada patroli polisi dan ditanya siapa yang bakar, terus om itu dibawa ke Polres. Karena dijamini anaknya, om itu sudah keluar,” ungkapnya.
“Kita harus lebih bijaksana dalam kearifan lokal. Polisi, lembaga adat, LSM, dinas pertanian, dinas lingkungan hidup, dinas kehutanan dan ormas, harus duduk bersama membuat rencana untuk sosialisasi ke kecamatan. Dan usulkan ke DPR untuk membuat aturannya,” usul Gito Stepanus Ayet, Bidang SDM DPC Gepak Kubar.
Dikatakan, Dewentius selaku Pegiat Sosial dari Badan Advokasi Indonesia, adat berladang merupakan kearifan lokal, dan ada aturan hukum sebagai peluang melestarikan budaya. Jika tidak disosialisasikan jelas ke masyarakat, akan merugikan warga juga negara.
Diakuinya, ada juga kebakaran di kebun warga akibat kelalaian. Api pun bisa timbul karena faktor alam atau tidak sengaja. Budaya lokal juga ada tata cara membakar, tapi api tetap bisa merembet meski telah dibuat sekat bakar. “Tidak dipungkiri, tapi jangan cari kambing hitam. Jangan warga ditindak, tapi perusahaan tidak ditangkap padahal kebakaran juga di lahan mereka. Ini tidak adil jika warga saja yang ditindak,” katanya.
Sekretaris DPC Gepak Kubar, Ismail L menegaskan, Gepak tidak bermaksud melawan proses hukum dengan melakukan tuntutan hukum. Sebab diakuinya, tindakan Polisi tidak juga salah. “Kita bertujuan, bagaimana kita duduk bersama dan tanyakan ke Polisi. Apakah yang ditahan bisa ditangguhkan atau jadi tahanan rumah. Kita akan tanyakan langsung ke Polisi,” ujarnya.
Sedangkan Bidang Humas Gepak Kubar, Jordi, berharap Polres dan Pemerintah melibatkan lembaga adat dalam sosialisasi. Menilai berladang adalah tradisi, dan kearifan lokal. Sayangnya, ada tidak sinkron antara hukum dan adat. “Lembaga adat wajib diikutsertakan dalam penegakan hukum di daerah. Gepak milik semua, dan kita wajib membela siapa saja, karena kita berada di Bumi Kalimantan,” katanya. #Sonny Lee Hutagalung