Iuran BPJS Selalu Dipotong Dari Gaji, Tapi Karyawan Berobat Pakai Uang Pribadi

BARONG TONGKOK – KABARKUBAR.COM
Nasibnya terkatung-katung, 11 tenaga kerja mempertanyakan kejelasan kepada PT Yepeka Usaha Mandiri atau YUM Site Kubar. Pasalnya, mereka telah dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK sejak 5 Juni 2020 lalu. Tanpa alasan yang jelas, manajemen perusahaan memberhentikan karyawan sebelum kontrak kerjanya berakhir.
Menurut Kristian Kudaq, dirinya bersama rekan telah menyurati Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kutai Barat melalui Serikat Pekerja Industrial Pancasila atau SPIP. Untuk melaporkan PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Sebab dua bulan telah berlalu dari perundingan Bipartit antara eks karyawan dan manajemen YUM. Namun belum membuahkan hasil memuaskan. Akhirnya para karyawan mendatangi Kantor YUM di Kampung Muara Lawa, Kecamatan Muara Lawa dan melapor ke Disnakertrans Kubar.
Sembilan dari 11 karyawan tersebut adalah warga Kubar. Rinciannya, lima asal Kecamatan Muara Lawa, dua dari Kecamatan Damai, serta masing-masing satu orang dari Kecamatan Barong Tongkok, dan Kecamatan Linggang Bigung. Sisanya tercatat warga dari luar Kubar.
Ia menjelaskan, mereka di-PHK melalui surat yang dikeluarkan manajemen YUM. Dalam surat tertulis PHK efektif terhitung Juni 2020. “Kami dinyatakan diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Padahal di perjanjian kerja yang kami tandatangani dengan materai Rp6.000 di saat masuk kerja, kontrak kami akan berakhir Oktober 2020,” katanya.
Pria yang sehari-hari disebut Kudaq ini menyebut PHK tersebut telah melanggar Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sebab tidak dijelaskan alasan pemutusan kontrak kerja. Terlebih mereka yang dipecat merasa tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap aturan perusahaan.
“Makanya melalui serikat ini kami menuntut pihak manajemen untuk memberikan apa yang menjadi hak-hak kami. Dalam hal ini sisa kontrak kami minta dibayar sesuai ketentuan yang ada,” tegasnya.

Dijelaskannya, saat perundingan bipartit, manajemen YUM hanya menyanggupi membayar 50 persen dari nilai sisa kontrak yang ada. Kesanggupan membayar setengah itu dinilai tidak sesuai aturan. “Kok ada tawar menawar? Seperti ada pilihan. Sementara kami di-PHK tidak diberi pilihan,” ungkap Kudaq yang juga adalah Koordinator Lapangan SPIP.
Hal senada disampaikan Sukmana Syarif. Diakuinya, selama ini bekerja normal saja. Tidak sekalipun pernah mendapat teguran dari perusahaan, baik secara lisan maupun sampai dikeluarkan surat peringatan.
“Kalau penilaian didasari absensi, bagaimana rekan kami yang absensinya lebih buruk. Ada juga karyawan yang terlibat insiden atau pelanggaran, tapi masih dipekerjakan, tidak di-PHK,” ungkapnya kesal.
“Kalaupun kami melanggar aturan perusahan, tentu ada tahapannya. Ya coaching atau pembinaan bisa melalui surat peringatan satu sampai tiga. Hal ini tidak pernah dilakukan manajemen, tiba-tiba dapat surat diputuskan kontrak,” ketus Sukmana Syarif.

Keluhan juga disampaikan karyawan lainnya selama bekerja. Mulai dihilangkannya uang perumahan, perhitungan isentif yang hampir tiap bulan salah, dan tidak ada flapon uang pengobatan.
Selama bekerja, karyawan dan keluarga yang sakit tidak pernah mendapat layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS yang didaftarkan perusahaan. Selalu membayar dengan uang pribadi.
“Padahal tiap bulan gaji kami dipotong untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, kartu tanda pesertanya pun tidak pernah kami terima. Pokoknya kami minta sisa kontrak kami dibayar,” ujar Hendra.
Karyawan lain yang di-PHK mengungkapkan, pada dokumen kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ada pasal yang mengatur tentang pemberian uang perumahan sebesar Rp 600 ribu. Namun setelah enam bulan berjalan, tiba-tiba uang perumahan dihilangkan atau tidak dibayar. “Apakah hal demikian bukan pelanggaran kontrak atau wanprestasi?” kata salah seorang yang terkena PHK.
Ketua Umum Serikat Pekerja Industrial Pancasila, Jhon H Yohanes mengatakan, pihaknya beberapa kali memfasilitas perundingan bipartit. Namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab itu diambil keputusan untuk melapor ke Disnaker Kubar.
Diharapkannya, Disnaker Kubar bisa membantu menyelesaikan masalah itu. Juga harapan ada iktikad baik dari manajemen YUM. “Jika hanya disanggupi membayar setengah dari nilai sisa kontrak, itu keliru besar dan tidak sesuai aturan yang ada. PHK itu tidak sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,” terang Jhon.
Hingga berita ini dinaikkan, Penanggung Jawab Operasi YUM, Indro Widianto, belum dapat dihubungi. #Sunardi