Sampaikan Penolakan dan Mengadu ke Jatam

BARONG TONGKOK – KABARKUBAR.COM
Tidak tergiur lembaran rupiah yang bisa mewujudkan banyak hal, masyarakat Kampung Ongko Asa Kecamatan Barong Tongkok, menolak rencana penambangan batubara di kampungnya. Pasalnya, warga setempat tidak ingin alam atau lingkungan di Gunung Layung rusak karena jika dikeruk isi perutnya. Dampak kerusakan alam yang saat ini sangat lestari itu, tidak akan pulih dalam waktu 50 bahkan 100 tahun ke depan.
“Yang jelas kami menolak jika Gunung Layung akan ditambang. Hutan akan rusak, dan banyak hal akan merugikan kami dan anak cucu nantinya,” ujar Kepala Kampung (Petinggi) Ongko Asa, Bagun, kepada KabarKubar, Selasa 12/6/2018.
Bagun mengungkapkan, kesepakatan warga Ongko Asa menolak rencana penambangan oleh PT Kencana Wilsa itu ditandatangani oleh 35 orang sebagai perwakilan warga. Kemudian ia menyampaikan penolakan itu saat Sosialisasi Konsultasi Publik Dalam Rangka Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal. Yang dilaksanakan Jumat 8/6/2018 lalu di Kantor Camat Barong Tongkok.

“Ini demi anak cucu kami. Jika hutan sudah habis, apa yang mau kami wariskan lagi. Jangan karena uang, alam yang lestari dikorbankan,” kata Bagun, yang baru setahun dilantik sebagai Petinggi Ongko Asa. Ia mengakui, bersama sejumlah warganya saat ini berada di Kota Samarinda. Untuk berkoordinasi dengan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam.
Ditambahkan Markus Masi yang pernah menjabat Petinggi Ongko Asa periode 1999-2010, di kaki Gunung Layung adalah hutan belukar yang masih asri. Hutan adat itu dinamai Hemaq Bojook. Tempat biasa masyarakat mencari ikan di anak sungai dan rawa, juga makanan saat musim buah. Tanah di kawasan Gunung Layung juga dikenal paling subur di seluruh wilayah Ongko Asa. Sehingga masyarakat bercocok tanam sayur mayur, padi gunung dan komoditi lainnya seperti jagung, ubi jalar dan singkong.
Terlepas dari sisi positif dan negatif, lanjut Markus Masi, ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian dengan kehadiran tambang nantinya. Terutama adalah di dataran tinggi itu terdapat mata air yang menjadi sumber air bersih bagi kampung-kampung di kaki Gunung Layung. Jika dipaksakan menambang kawasan hutan lestari itu, maka beresiko juga bagi Kampung Muara Asa, Pepas Asa, Ombau Asa, Geleo Asa, Geleo Baru, Muyub Ilir dan Muara Benangaq. “Bahkan akan terjadi banjir besar di Muara Asa, Geleo dan Benangaq setiap turun hujan,” ungkapnya.

Menurut Markus Masi lagi, masih banyak lagi yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk mengatakan tidak pada tambang, khususnya di Gunung Layung. Misalnya, jarak dari Kantor Bupati Kubar yang hanya sekitar 12 kilometer menuju Pit Tambang. Artinya, masih termasuk halaman kantor Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, yang jika dirusak sama dengan merusak halaman kantor bupati.
“Saya mengajak saudara-saudari khusunya kampung yang terdampak kegiatan tambang ini. Mari kita satukan barisan untuk katakan; Tolak Tambang di Gunung Layung. Ingat Hanya penolakan masyarakat yang bisa membatalkan kegiatan tambang,” tegas Markus Masi.
Tokoh Pemuda Ongko Asa, Wawan Karnawan, justru heran dengan niat mereka yang mau menerima kehadiran perusahaan pertambangan batubara di sana. “Entahlah apa yang ada di benak mereka yang dengan rela menjual lahan diganti pertambangan. Dan dengan iming-iming mendapat ganti untung yang tidak seberapa nilainya. Apa mungkin? Mereka lebih senang mendengar bisingnya suara alat berat, ketimbang suara hewan dan gemerciknya air yang asri,” ujarnya.
“Apakah mereka lebih senang menghirup pekatnya debu batubara, ketimbang menghirup segarnya udara asri?. Mereka lebih senang mata air yang asri diganti dengan lobang-lobang besar yang beracun dan bisa menimbulkan berbagai macam penyakit?. Wahai saudaraku, ingatlah uang tidak akan pernah cukup. Kaya sesaat, tapi miskin untuk selama-lamanya,” tukas Wawan Karnawan. #Sonny Lee Hutagalung