Misteri Jantur Inar, Kisah Pilu 200 Tahun Silam

790 views


Oleh: Sonny Lee Hutagalung (Majalah Ekstrem Star, 31 Januari 2006)

NYUATAN – Eksotisme Inar menjadi pembicaraan tiada henti bagi mereka yang pernah mengunjungi air terjun setinggi sekitar 50 meter ini. Air terjun yang dalam bahasa setempat disebut Jantur, sungguh menjadi tempat melepas kepenatan dan meneduhkan pikiran. Inar menjadi salah satu lokasi wisata pilihan dari sekian banyak Jantur di Tanaa Purai Ngeriman, sebutan Kabupaten Kutai Barat.

Suatu pengalaman luar biasa di saat berenang atau hanya sekedar memandangi jatuhnya air dan mendengarkan bunyi gemercik air yang menghempas batu. Kesejukan makin terasa dibarengi oleh hempasan embun yang dilemparkan benturan air terjun dengan batu alam di hutan yang terbilang masih alami.

Inar yang terletak sekitar 30 kilometer dari Barong Tongkok, ibukota Kubar, berada di Kampung Temula Kecamatan Nyuatan. Akses jalan beraspal mulus yang dibangun sejak tahun 2003 lalu, memudahkan perjalanan menuju Inar. Kalau dulu, hanya segelintir orang yang dapat menempuhnya bila sedang atau setelah hujan. Ruas jalan yang berliku-liku pun tak lagi menghalangi minat mengunjungi Jantur Inar. Sebab cukup 25 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua atau lebih untuk tiba di Jantur Inar.

Di ujung Kampung Temula setelah melewati Kampung Mencimai, Engkuni Pasek, Pepas Eheng, Muut dan Terajuk, ada papan petunjuk menunjukkan arah Inar. Kurang lebih 400 meter melalui jalan tanah, sampailah ke puncak Jantur Inar. Suara debur air seakan menarik kita untuk turun ke bawah. Situasi di bawah masih kelihatan alami dengan lumut-lumut yang menempel di batu-batu dan tumbuhan liar di sekelilingnya. Namun terlebih dulu harus menuruni sekitar 200 anak tangga berjarak 20 centi meter antaranya.

Pada hari Minggu atau hari libur, Inar menjadi idola untuk pasangan kekasih menghabiskan waktu sambil mengagumi cinta kasih Sang Pencipta pada manusia. Keluarga-keluarga dari seantero Kubar pun berdatangan untuk bercanda ria bersama handai tolan atau teman dekat. Terhitung ribuan orang mengunjungi Inar pada setiap hari libur atau hari besar keagamaan.

Dibalik semua keindahan itu, ada cerita pilu terjadi sekitar tahun 1800 lalu, tak diketahui mereka yang datang menikmati alam Inar. Kisah yang boleh dikatakan duka bagi seorang yang bernama Inar.

Saat Belanda masih menduduki Bumi Pertiwi, seorang Tumenggung bernama Ngaroh dengan gelar Setia Raja, memiliki 8 anak. Yaitu Krongo (kakah Lauq), Tuli (kakah Mantiq), Tongaq (kakah Blokoq), Kobaq (kakah Bioroq), Teq, Main, Ukay dan Ruay. “Ragetn seorang cucu sang Tumenggung dari anak sulung, Krongo, menikah dengan Kudus dan tinggal di Lamin Temula. Empat anak dilahirkan Ragetn yaitu, Ayus, Lejiu, Gunung dan Inar sebagai putri bungsu,” ungkap Yopentius Sangkin, 79 tahun, cicit kandung dari Ayus saudara tertua Inar.

Sangkin menuturkan, sejak kecil Inar menderita penyakit barah, semacam kudis dan lemah tulang setengah lumpuh. Setelah dewasa, Inar menikahi seorang pemuda bernama Baras, namun pasangan ini tidak dikaruniai anak. Suatu saat sang suami mengalami kebutaan hingga tidak bisa bekerja untuk menghidupi Inar dan dirinya sendiri. “Akibatnya Inar harus bersusah payah mencari nafkah, karena sanak saudaranya tidak mau menghiraukan nasibnya,” jelas pria tua yang pernah menjabat Kepala Kampung Temula periode 1984-1994 dan Kepala Adat selama 6 tahun.

Dari kisah para sesepuh keluarga, suatu kali Inar dan Baras beristirahat di puncak sebuah air terjun. Karena lelah membawa lanjung (sejenis bakul terbuat dari rotan) besar berisi keladi, Baras marah-marah sambil melempar batu ke bawah jantur. Baras kesal dirinya tak mampu mencari nafkah dengan kebutaannya, sementara Inar pun sakit-sakitan. “Tiba-tiba Baras mendorong istrinya ke bawah, kemudian ia menyusul dengan menjatuhkan diri ke bawah, dan mati. Namun Inar tidak mati saat itu karena ditahan Pelangi yang muncul dan hilang secara gaib. Jasad Inar tidak ditemukan, sejak itulah jantur itu diberi nama Inar,” kisahnya.

Sewaktu menjabat Kepala Kampung, Sangkin pernah mengalami hal gaib di Jantur Inar bersama rombongan pegawai Dinas PU Kutai dari Tenggarong. Inar hadir dalam wujud pelangi yang muncul beberapa buah saat hujan deras. Ketika itu mereka sedang makan di bagian bawah jantur. “Saya lupa tahunnya, tapi bersama Kepala PU Tenggarong, insinyur Kusmartono serta jajarannya. Saat makan di bawah, datang banyak pelangi dan hujan lebat. Pak Kus minta tolong agar hujan segera reda, saya bilang jangan takut karena saya masih cicit dari Inar, maka saya kan minta hujan reda. Sesudah manghambur beras dan menyajikan nasi dengan lauk daging sapi yang dibawa pak Kus dari Melak, hujan reda seketika itu juga dan pelangi-pelangi pun lenyap,” tambahnya.

Inar tetap menjadi salah satu lokasi wisata yang menjadi idola. Dan tidak pernah pengunjung jantur terganggu oleh fenomena gaib. Walaupun lokasi sekitar Inar cukup membuat bulu kuduk merinding bila sedang sepi atau ketika hari menjelang senja.    #Sonny Lee Hutagalung

Komentar

comments