Minta Sebut TSA dan FKP Ciptakan Overlap

29 views

Petinggi Mendika Sebut Ada Penjualan Bodong

1605_KabarKubar_Ketua RT II Mendika_Minta
CURHAT : Ketua RT II Kampung Mendika Kecamatan Damai, Minta, menjelaskan seputar tuntutan kompensasi hak atas lahan mereka yang telah digarap PT Teguh Sinar Abadi dan PT Firman Ketaun Perkasa, Sabtu (15/5/2015) di kediamannya.    HENDRI PHILIP/KabarKubar.com

DAMAI – Ketua Rukun Tetangga II Kampung Mendika Kecamatan Damai, Minta, menegaskan tidak tahu menahu adanya tumpang tindih atau overlap kepemilikan lahan di kampungnya. Sebab mereka yang menjadi pewaris ratusan hektar lahan yang kini digarap PT Teguh Sinar Abadi maupun PT Firman Ketaun Perkasa, tidak pernah menjual lahannya. Jika kedua perusahaan pertambangan batu bara itu mengklaim punya dokumen tanah, itu disebut tidak resmi alias ilegal.

“Soal overlap kami tidak tahu. Yang jelas kami belum ada jual lahan,” kata Minta, Sabtu (15/5/2015) di kediaman, RT II Kampung Mendika.

Pria yang lahir 12 Maret 1954 silam ini mengakui mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional. Namun bukti kepemilikan berupa dokumen pengesahan hak atas tanah dari lembaga adat, pemerintahan kampung hingga kecamatan ada dikantongi. Sementara dokumen yang ditunjukkan TSA dan FKP yang merupakan anak perusahaan Bayan Resources itu tidak akurat. “Dulu mana ada surat tanah, lebih banyak pakai saksi. Ada yang menjual lahan saya karena mengaku buka ladang tahun 1976. Ya jauh lebih dulu kami, karena saya lahir di lahan itu. Saya mati-matian pertahankan hak dan tidak mau jual sebenarnya. Cuma lahan kami itu sudah digusur TSA lebih dari separuh,” kata Minta yang berbicara bersama istrinya.

Sementara Kepala Kampung (Petinggi) Mendika, Gagar, mengaku kesal dengan sikap manajemen TSA maupun FKP. Perusahaan pertambangan tersebut selalu membenturkan masyarakat dengan aparat hukum, khususnya oknum kepolisian. Jika ada klaim kepemilikan lahan yang telah digarap perusahaan, langsung dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pengancaman atau perbuatan tidak menyenangkan.

“Coba TSA ini seperti Banpu (PT Trubaindo Coal Mining) yang selalu buat sosialisasi. Ini tidak pernah, main nyelonong saja menebang rotan kami. Pernah (TSA) kami denda Rp 100 juta, tapi polisi disuruhnya berhadapan dengan kami. Akhirnya mereka mau bayar Rp 60 juta. Perusahaan baiknya cari makan dengan baik, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kita sama-sama warga NKRI,” kata Gagar, Sabtu (15/5/2015) di kediaman, RT I Kampung Mendika.

Terkait klaim TSA maupun FKP yang menyebut telah membayar lahan warga sejak tahun 2006, dibantah Gagar. Pria lanjut usia ini menuding perusahaan bersekongkol dengan sejumlah oknum dari kampung lain. Banyak warganya mengaku kaget karena tiba-tiba ada aktivitas perusahaan di lahan milik mereka. “Itu penjualan (pembayaran ganti rugi) gelap. TSA membayar kepada orang tidak jelas dan ada lahan dijual orang yang bukan pemilikinya,” ujarnya.

Dia bahkan menduga telah terjadi pemalsuan dokumen pembayaran ganti rugi. Sebab pada dokumen tertera tandatangan saksi pemilik lahan berbatasan. Setelah ditelusuri, orang sebenarnya tidak pernah membubuhkan tandatangan. Dia mencontohkan, Terang dan Mujiman yang berbatas lahan dengan Musni. Ada tandatangan mereka di dokumen kepemilikan lahan yang dibebaskan TSA. Setelah ditanyakan, keduanya membantah. Bahkan mereka menunjukkan model tandatangan mereka sebenarnya tidak sama seperti di KTP dan dokumen itu. “Kanisius, Ileng dan Langkas tidak pernah menjual lahan, tapi TSA ada dokumen pembayaran ganti rugi atas nama mereka. Dulu (tahun 2006) harganya Rp 12 juta perhektar,” ungkap Gagar.

Gagar mengatakan, warga menuding ‘permainan’ TSA dilakukan bukan saat Land Compentation Section dipimpin Diana Siagian atau penggantinya sekarang. Setidaknya ada belasan hektar di sekitar kolam pengolahan limbah yang masih bermasalah. Total sekitar 84 hektar yang belum dibebaskan perusahaan. “Patok batas banyak bergeser. Lokasi bisa berpindah ke seberang jalan, itu kan aneh. Dulu dicari orang yang mau menjual lahannya, tapi kami tidak ikut-ikutan. Makanya kaget kok TSA menggarap lahan kami. Bukan saya Petinggi waktu itu, kami tidak tahu siapa yang menjual lahan,” bebernya. Ia menambahkan, dari perkampungan ke kolam limbah TSA berjarak sekitar 4,5 kilometer. Namun pembayaran ganti rugi di lokasi itu kebanyakan atasnama masyarakat kampung lain yang berjarak hingga 15 kilometer.    #Hendri Philip

Komentar

comments